ANTO dan Yudi adalah sepasang tukang semir sepatu. Mereka biasa mangkal di Apotek “Waras”. Setiap siang hingga menjelang malam, keduanya tampak lalu-lalang di sekitar apotek, menawarkan jasa kepada orang-orang yang tak sempat membersihkan alas kaki mereka di rumah. Upah membersihkan sepatu atau sandal cukup murah, hanya seribu rupiah.
Terkadang, kalau nasib mereka sedang mujur, ada saja pelanggan yang baik hati. Setelah sepatu mereka mengkilat, mereka memberi upah lebih untuk Yudi dan Anto.
Ada juga yang ikhlas memberikan uang kembalian mereka, sambil menasehati tukang semir cilik itu agar menabung uangnya. Anto dan Yudi senang sekali menerimanya. Sambil menghitung hasil keringat hari itu, mereka bercerita satu sama lain.***
SORE itu Apotek “Waras” tampak ramai. Banyak orang menebus resep atau membeli obat. Ada yang duduk-duduk di kursi tunggu, berderet antri di kasir, atau menunggu di luar apotek. Kesempatan itu tak disia-siakan Anto dan Yudi. Dengan kotak semir tersampir di bahu, keduanya bergerak lincah ke sana kemari, menawarkan jasa kepada orang-orang.
“Om…, semir sepatu, Om. Cuma seribu, kok…”
“Tante, sandalnya mau disikat? Biar mengkilat lagi.”
“Tante, sandalnya mau disikat? Biar mengkilat lagi.”
Suara keduanya terdengar di antara riuh rendah. Kadang mereka menawarkan dengan sedikit merayu, tapi sesekali dengan nada bercanda.
Wajah mereka ceria jika ada yang memanggil dan minta alas kakinya di semir. Tapi, ketika tawaran mereka ditolak halus, keduanya tidak putus asa. Mereka kembali berkeliling sambil mencari “mangsa”. Terkadang sambil bernyanyi kecil, sekadar menghibur diri.
Tiba-tiba, terdengar keributan kecil di luar apotek. Orang-orang serempak menengok. Wajah mereka diliputi penasaran. Apa yang terjadi di luar sana?
Alangkah kagetnya pengunjung apotie ketika melihat pemandangan itu. Ada dua tukang semir cilik yang sedang berkelahi. Ya, entah apa sebabnya, Anto dan Yudi saling pukul, saling jambak, dan saling tendang.
Satpam apotek dan seorang bapak tua sigap melerai perkelahian seru itu. Anto dan Yudi digiring ke pos satpam. Keduanya ditanya, mengapa saling berkelahi sesama teman.
Rupanya mereka rebutan pelanggan. Bapak tua itu ingin menyemir sepatu. Beliau memanggil Anto, tapi malah Yudi yang menghampirinya. Tindakan Yudi jelas membuat Anto marah. Ia merasa rezekinya diserobot. Akhirnya perkelahian itu tak bisa dielakkan. Pak Satpam dan Bapak tua tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Anak-anak,” kata Bapak tua setelah mendengar penuturan sepasang tukang semir cilik itu. “Bapak bangga pada kalian. Masih kecil sudah bisa mencari uang sendiri. Tapi, kenapa kalian sampai berkelahi? Tuhan memberi rezeki yang berbeda-beda untuk umatnya. Janganlah kita iri dan dengki. Justru kita harus menghargai milik orang lain, bahkan kalau bisa saling membantu sesama kita.”
Anto dan Yudi berdiri mematung. Malu pada diri sendiri. Kata-kata Bapak tua itu benar. Kenapa harus saling berebut rezeki? Kenapa harus mengambil hak orang lain? Bukankan Tuhan memberi rezeki yang melimpah bagi umatnya? Dalam hati, kedua anak itu menyesali kelakuan buruk mereka.
“Anto, Yudi, kalian harusnya malu. Kelakuan kalian jadi tontonan orang banyak. Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Bapak ini tidak jadi menyemir sepatu. Kalian justru saling menyakiti sesama teman sendiri. Iya, kan?!” tambah Pak Satpam. Keduanya menundukkan kepala dalam-dalam.
Anto dan Yudi berdiri mematung. Malu pada diri sendiri. Kata-kata Bapak tua itu benar. Kenapa harus saling berebut rezeki? Kenapa harus mengambil hak orang lain? Bukankan Tuhan memberi rezeki yang melimpah bagi umatnya? Dalam hati, kedua anak itu menyesali kelakuan buruk mereka.
“Anto, Yudi, kalian harusnya malu. Kelakuan kalian jadi tontonan orang banyak. Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Bapak ini tidak jadi menyemir sepatu. Kalian justru saling menyakiti sesama teman sendiri. Iya, kan?!” tambah Pak Satpam. Keduanya menundukkan kepala dalam-dalam.
“Sekarang, Bapak mau kalian saling memaafkan. Hidup akan terasa indah kalau kita mau saling memaafkan. Ayo!” bujuk Bapak tua. Anto dan Yudi saling lirik. Mereka segan untuk memulai. Bapak tua dan Pak Satpam tersenyum melihat tingkah mereka. Setelah dibujuk lagi, barulah Anto dan Yudi saling memaafkan. Keduanya tersenyum kikuk. “Nah, begitu dong. Kalau kalian bersalah, harus berani mengakui dan minta maaf.”
Tak lama kemudian, masih di pos satpam itu, Anto dan Yudi tampak sibuk menyemir sepatu. Rupanya, Bapak tua itu punya ide cerdik. Anto disuruh menyemir sepatu sebelah kanan, sedang Yudi menyemir yang sebelah kiri. Ditemani Bapak tua dan Pak Satpam. Begitu selesai, Bapak tua memberi uang dua puluh ribu rupiah dan menyuruh mereka membagi rata. Anto dan Yudi terperangah menerima pemberian sebesar itu. Tak lupa, Bapak tua itu menasehati mereka sekali lagi. Sebelum pamit, Anto dan Yudi bergantian mencium punggung tangan Bapak itu.
Senja itu terasa indah. Menjelang maghrib, Anto dan Yudi memutuskan untuk pulang bersama. Tak ada dendam lagi di hati keduanya. Mereka malah bahagia karena dapat pelajaran berharga hari itu.
Senja itu terasa indah. Menjelang maghrib, Anto dan Yudi memutuskan untuk pulang bersama. Tak ada dendam lagi di hati keduanya. Mereka malah bahagia karena dapat pelajaran berharga hari itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar