GRATIS... Klik di sini

Pertama

Sabtu, 26 Maret 2011

Kisah kali Gajah Wong

Dalam kisah disebutkan, Kerajaan Mataram pernah berpusat di Kotagede, kurang lebih 7 kilo me ter arah tenggara kota Yogyakarta. Pada waktu itu Kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung yang mempunyai beribu-ribu prajurit, termasuk pasukan berkuda dan pasukan gajah. Kanjeng sultan juga mempunyai abdi dalem-abdi dalem yang setia. Di antara abdi dalem itu terdapat seorang srati, bernama Ki Sapa Wira.

Setiap pagi, gajah Sultan yang ber nama Kyai Dwipangga itu selalu di mandi kan oleh Ki Sapa Wira di sungai di dekat Kraton Mataram. Oleh karena itu, gajah dari Negeri Siam itu selalu menurut dan ter biasa dengan perlakuan lembut Ki Sa pa Wira. Pada suatu hari, Ki Sapa Wira sakit bisul di ketiaknya sehingga ia tidak bisa bergerak bebas, apalagi harus beker ja memandikan gajah. Oleh karena itu, Ki Sapa Wira menyuruh adik iparnya yang bernama Ki Kerti Pejok untuk menggantikan pekerjaannya. Sebenarnya, nama asli Ki Kerti Pejok adalah Kertiyuda. Namun ka re na terkena penyakit polio sejak lahir sehingga kalau berjalan meliuk-liuk pin cang atau pejok menurut istilah Jawa, maka ia pun dipanggil Kerti Pejok.
“Tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga, Kerti,” kata Ki Sapa Wira.
“Baik, Kang,” jawab Ki Kerti. “Tapi ba gai mana jika nanti Kyai Dwipangga tidak mau berendam, Kang?” sambungnya.
“Biasanya aku tepuk kaki belakangnya, lalu aku tarikbuntutnya,” jawab Ki Sapa Wira.
Pagi itu Ki Kerti sudah berangkat me nuju sungai bersama Ki Dwipangga. Ba dan gajah itu dua kali lipat badan ker bau, belalainya panjang, dan gadingnya ber warna putih mengkilat. Ki Kerti Pejok mem bawakan dua buah kelapa muda un tuk makanan Ki Dwipangga agar gajah itu patuh kepadanya.
“Nih, ambillah untuk sarapan …,” cele tuk Ki Kerti sambil melemparkan sebuah kelapa muda ke arah Ki Dwipangga.
“Prak ….” kelapa itu ditangkap  oleh Ki Dwi pang ga dengan belalainya lalu di banting pada batu besar di pinggir jalan. Dua buah kelapa sudah terbelah, dan Ki Dwipangga memakannya dengan lahap. Belum habis kelapa yang kedua, Ki Kerti sudah menyuruh Ki Dwipangga untuk berdiri dan berjalan lagi. Dipukulnya pantat gajah itu dengan cemeti yang dibawanya.
Setibanya di sungai, Ki Kerti menyu ruh Ki Dwipangga untuk berendam. Sesaat kemudian, Ki Kerti segera memandikan ga jah itu. Ia menggosok-gosok tubuh ga jah tersebut dengan daun kelapa supaya lumpur-lumpur yang melekat cepat hilang. Setelah bersih, gajah itu segera dibawa pulang oleh Ki Kerti menuju kandangnya.
“Kang, gajahnya sudah saya mandi kan sampai bersih,” lapor Ki Kerti kepada Ki Sapa Wira.
“Ya, terima kasih. Aku harap besok pa gi kamu pergi memandikan Ki Dwi pang ga lagi. Setiap hari gajah itu harus dimandikan, apalagi pada saat musim kawin begini,” jawab Ki Sapa Wira sambil menghisap ce rutunya.
Keesokan harinya, pagi-pagi Ki Kerti mendatangi rumah Ki Sapa Wira un tuk men jemput Ki Dwipangga. Pagi itu langit kelihatan mendung, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Segera Ki Kerti Pe jok membawa Ki Dwipangga menuju su ngai. Kali ini Ki Kerti Pejok agak kecewa ka re na sungai tempat memandikan gajah tersebut ke li hat an dangkal. ‘Mana mungkin dapat memandi kan gajah jika untuk berendam pun tidak bisa,’ pikir Ki Kerti Pejok. Kemudian ia mem bawa Ki Dwipangga ke arah hilir untuk mencari genangan sungai yang dalam.
“Ah, di sini kelihatannya lebih dalam. Aku akan memandikan Ki Dwipangga di sini saja. Dasar, Kanjeng Sultan orang yang aneh. Sungai sekecil ini kok digunakan un tuk memandikan gajah,” gerutu Ki Kerti Pe jok sambil terus menggosok punggung Ki Dwipangga. Belum habis Ki Kerti Pejok meng gerutu, tiba-tiba banjir bandang da tang dari arah hulu.
“Hap … Hap … Tulung … Tuluuung …,” teriak Ki Kerti Pejok sambil melambai-lambaikan tangannya. Ia hanyut dan teng gelam bersama Ki Dwipangga hingga ke Laut Selatan. Keduanya pun mati kare na tidak ada seorang pun yang dapat me nolongnya.
Untuk mengingat peristiwa tersebut, Sultan Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong, karena kali itu telah meng hanyutkan gajah dan wong. Sungai itu terletak di sebelah timur kota Yogyakarta. Konon, tempat Ki Kerti memandikan gajah itu saat ini bersebelahan dengan kebun binatang Gembiraloka.

Kanjeng      :  tuan.                  
Abdi dalem :  pegawai istana, pembantu raja.
Srati           :  orang yang pekerjaannya mengurusi gajah.
Kang           :  kak, kakak, panggilan untuk kakak laki-laki.         
Buntut        :  ekor.
Tulung        :  tolong.
Kali             :  sungai.          
Wong          :  orang.

Penulis: Henry Artiawan Yudhistira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar